Puasa merupakan salah satu ibadah yang memiliki tujuan
utama yaitu bertaqwa. Puasa juga mengandung latihan-latihan pembentukan pribadi
pelakunya dan membingkainya dalam perilaku-perilaku positif seperti sabar,
empatik terhadap sesama dan skil-skil sosial yang lain, agar manusia dapat
hidup sukses didunia dan diakhirat. Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa (QS. Al-Baqarah 183).
Kata-Kunci : Shaum
Kata shaum, merupakan bentuk masdar dari kata shama –
sha-wa-ma, berarti menahan diri, berhenti dan tidak bergerak baik dalam bentuk
kegiatan fisik maupun non fisik, serta baik dilakukan oleh manusia maupun
makhluk lainnya. Menurut istilah fiqih, puasa bermakna menahan diri dari segala
hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan suami istri dan
lain-lain, mulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Berhenti
dari rutinitas makan, minum dan segala yang halal dilakukan disiang hari
merupakan praktek minimal berpuasa. Dalam dunia sufi, puasa tidak dibatasi pada
hal-hal yang bersifat lahiriyah saja tetapi juga aktifitas batiniyah yaitu
upaya menahan diri dari kenginan nafsu yang negatif. Pengertian puasa menurut
kaum sufi inilah yang dapat memberikan implikasi pada transformasi sosial.
Munasabah Ayat (Keterkaitan dengan ayat-ayat lain)
Ayat sebelumnya (QS.178-179) berbicara mengenai qisas
(hukuman setimpal), bagi pelaku tindak pidana pembunuhan. Penetapan hukuman
tersebut bertujuan untuk memelihara jiwa manusia (sebagai upaya tindakan kuratif).
Allah kembali mengajak memelihara jiwa melalui ibadah puasa dengan ungkapan
yang lebih lembut (sebagai tindak prefentif) dalam surat al-Baqarah ayat 183 –
187. Ayat ini juga berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan puasa
Ramadhan dalam segala dimensi, seperti ; waktu puasa, dispensasi bagi yang
tidak mampu melakukannya, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang dalam
bulan tersebut. Rangkaian ayat berikunya (188) menjelaskan tentang larangan
memakan harta sesama manusia dengan jalan batil dan menyuap hakim dengan tujuan
mendapat harta yang bukan haknya.
Jika dihubungkan antara ayat yang menjelaskan tentang
puasa, qishas dan larangan memakan harta secara batil dapat diperoleh petunjuk
bahwa, pertama : manusia memiliki sifat yang rakus dan boros dalam usaha
memperoleh harta dan menggunakannya, sehingga ia bisa menghalalkan segala cara
untuk memperolehnya. Bila ia sudah mendapatkannya, ia sering lupa dan tidak
tepat dalam menggunakannya. Kedua ; Kejadian tindak pidana pembunuhan banyak
bermula dari urusan perut. Ketiga ; Puasa,
dapat dijadikan sebagai sarana untuk menahan agar perilaku negatif yang
berhubungan dengan harta dapat diminimalisir dan tidak berkelanjutan.
Isi Kandungan :
Salah satu misi yang dibawa oleh rasul, sejak zaman nabi
Adam hingga Muhammad adalah kesuksesan dan keberhasilan hidup bagi manusia di dunia
hingga di akhirat. Puasa merupakan ibadah yang dapat melatih manusia untuk
meraihnya. Semua utusan Allah mengajarkan syariat berpuasa. Hal ini menunjukkan
adanya kesinambungan ajaran univesal Allah yang mengandung visi kesuksesan yang
selalu diemban oleh semua Nabi.
Ibadah puasa memiliki dua dimensi yaitu dimensi
intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi intrinsik yakni dimensi vertikal yang
bersifat individual, sebagai kewajiban hamba terhadap Tuhannya. Dimensi
ekstrinsik yakni dimensi horisontal yang bersifat sosiologis. Kedua dimensi itu
bersifat integral dan komplementaris. Seorang yang menjalankan ibadah puasa
dengan benar, tidak hanya merasa telah menjalankan kewajiban saja tetapi ia
akan dapat merealisasikan hikmah dan tujuan diwajibkannya berpuasa dalam sikap
dan prilaku sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam surat al-Baqarah 183 dijelaskan
bahwa tujuan berpuasa adalah menjadi insan yang bertaqwa. Nilai-nilai takwa
yang ada dalam ibadah puasa antara lain, Pertama : jujur. Sikap ini berkaitan dengan ibadah puasa yang
berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang bersifat lahiriah/kasat mata. Puasa
bersifat batin dan personal, tidak ada yang tahu bahwa seseorang itu berpuasa,
kecuali Allah dan pelakunya. Sifat ini yang akan melatih manusia untuk selalu
menghindari perbuatan-perbuatan menyimpang seperti berbohong, korupsi,
selingkuh dan lain-lain, yang merupakan cermin tidak adanya kejujuran, menganggap Tuhan tidak
pernah hadir dalam perbuatannya.
Kedua : mengendalikan diri. Pengendalian diri sangat diperlukan oleh semua
manusia, baik secara individu maupun kelompok, baik kaya maupun miskin, pandai
maupun bodoh. Setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri adalah
berlawanan dengan akhlak mulia. Orang yang tidak dapat mengendalikan diri dan
hanya mengikuti hawanafsunya adalah orang yang berkepribadian egois, hal ini menjadi
titik tolak terjadinya degradasi moral. Akibat negatif dari tindakan tidak bisa
menahan dan mengendalikan diri sudah terbukti sejak zaman Nabi Adam hingga
sekarang. Dalam realitas sosial, kita banyak menjumpai prilaku-prilaku menyimpang,
seperti ; kehamilan pranikah, maraknya miras dan obat-obatan, perkelaihan antar
pelajar, teror, konflik antar agama dan lain-lain, semua itu terjadi akibat rendahnya
kontrol dan pengendalian diri. Hilangnya fungsi kontrol pada diri manusia
menyebabkan kecenderungan untuk selalu melakukan dosa, yang menghalangi “radar
jiwa” manusia (hati) menjadi gelap dan tidak sensitif terhadap kebenaran.
Ketiga: empatik dan solidaritas sosial.
Puasa yang benar akan mendidik pelakunya untuk memiliki rasa empatik pada orang
lain yang terlantar dan tertindas. Rasa
lapar dan dahaga yang dirasakan ketika berpuasa, diharapkan memberi inspirasi untuk
ikut merasakan penderitaan orang-orang yang sedang kelaparan, berada dibawah
garis kemiskinan, keterpurukan dan ketertindasan. Realisasi dari solidaritas
sosial dalam berpuasa, tampak pada adanya pengganti dispensasi berupa fidyah
dan juga kewajiban membayar zakat fitrah pada akhir Ramadhan serta
bentuk-bentuk amal sadaqah lainnya. Dengan demikian, puasa tidak hanya sebagai
etika individual tetapi juga etika sosial dan gerakan moral yang efektif dalam
menanggulangi berbagai krisis seperti kemiskinan dan ketertinggalan yang
dialami oleh sebagaian umat Islam.
Keempat ; Berbaik sangka dan memiliki visi. Prasangka buruk
merupakan bagian dari perbuatan zalim. Orang yang berburuk sangka mencerminkan
pribadi kurang melakukan introspeksi. Nabi menganjurkan kepada semua manusia
terutama yang sedang berpuasa agar banyak melakukan introspeksi, sebagaimana
sabdanya :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa dengan penuh
keimanan dan introspesi diri, maka akan diampuni dosanya yang lalu”.
Introspeksi diri diperlukan untuk
merenungkan kembali hal-hal yang telah dilakukan selama kurun waktu tertentu,
sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki dan
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada tiap-tiap individu, pada akhirnya
akan membawa kepada kesempurnaan diri dan kesuksesan dalam hidup. Namun, untuk
melakukan koreksi diri memerlukan sikap jujur, tulus dan rendah hati. Sikap
tersebut sulit untuk dilakukan dan perlu pembiasaan diri. Dalam kehidupan
sosial seseorang lebih senang melakukan penilaian terhadap orang lain dan lupa
untuk menilai dirinya sendiri. Lemahnya koreksi diri, berakibat memandang
dirinya sendiri lebih suci dari pada orang lain.
Salah satu visi yang ada dalam ibadah
puasa adalah mengajarkan hidup optimis dan bersusah payah untuk meraih
keberhasilan. Allah berjanji kepada orang yang berpuasa akan mendapat pahala yang
besar, tak terukur, semangat untuk memerangi hawa nafsu, dan yakin akan meraih
kemenangan di hari idul fitri, serta rela menderita dan menunda kesenangan
duniawi, menyebabkan pelakunya memiliki optimisme yang tinggi dalam menatap
masa depan pada kehidupan yang abadi.
Empat nilai-nilai taqwa yang ada dalam ibadah
puasa dapat tercapai jika seseorang melakukannya dengan benar, jika tidak
menjiwai perintah tersebut, maka puasa hanya memperoleh lapar dan dahaga saja.
Info yang Bermanfaat Bu ..
BalasHapusterimakasih,mudah-mudahan bisa bermanfaat, walau masih terbatas.
Hapus