Minggu, 02 Juni 2013

PUASA MENINGKATKAN KECERDASAN SPIRITUAL DAN EMOSIONAL


Puasa merupakan salah satu ibadah yang memiliki tujuan utama yaitu bertaqwa. Puasa juga mengandung latihan-latihan pembentukan pribadi pelakunya dan membingkainya dalam perilaku-perilaku positif seperti sabar, empatik terhadap sesama dan skil-skil sosial yang lain, agar manusia dapat hidup sukses didunia dan diakhirat. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah 183).

Kata-Kunci : Shaum
Kata shaum, merupakan bentuk masdar dari kata shama – sha-wa-ma, berarti menahan diri, berhenti dan tidak bergerak baik dalam bentuk kegiatan fisik maupun non fisik, serta baik dilakukan oleh manusia maupun makhluk lainnya. Menurut istilah fiqih, puasa bermakna menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, berhubungan suami istri dan lain-lain, mulai dari terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari. Berhenti dari rutinitas makan, minum dan segala yang halal dilakukan disiang hari merupakan praktek minimal berpuasa. Dalam dunia sufi, puasa tidak dibatasi pada hal-hal yang bersifat lahiriyah saja tetapi juga aktifitas batiniyah yaitu upaya menahan diri dari kenginan nafsu yang negatif. Pengertian puasa menurut kaum sufi inilah yang dapat memberikan implikasi pada transformasi sosial.


Munasabah Ayat (Keterkaitan dengan ayat-ayat lain)
Ayat sebelumnya (QS.178-179) berbicara mengenai qisas (hukuman setimpal), bagi pelaku tindak pidana pembunuhan. Penetapan hukuman tersebut bertujuan untuk memelihara jiwa manusia (sebagai upaya tindakan kuratif). Allah kembali mengajak memelihara jiwa melalui ibadah puasa dengan ungkapan yang lebih lembut (sebagai tindak prefentif) dalam surat al-Baqarah ayat 183 – 187. Ayat ini juga berbicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan puasa Ramadhan dalam segala dimensi, seperti ; waktu puasa, dispensasi bagi yang tidak mampu melakukannya, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang dalam bulan tersebut. Rangkaian ayat berikunya (188) menjelaskan tentang larangan memakan harta sesama manusia dengan jalan batil dan menyuap hakim dengan tujuan mendapat harta yang bukan haknya.
Jika dihubungkan antara ayat yang menjelaskan tentang puasa, qishas dan larangan memakan harta secara batil dapat diperoleh petunjuk bahwa, pertama : manusia memiliki sifat yang rakus dan boros dalam usaha memperoleh harta dan menggunakannya, sehingga ia bisa menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Bila ia sudah mendapatkannya, ia sering lupa dan tidak tepat dalam menggunakannya. Kedua ; Kejadian tindak pidana pembunuhan banyak bermula dari urusan perut. Ketiga ; Puasa, dapat dijadikan sebagai sarana untuk menahan agar perilaku negatif yang berhubungan dengan harta dapat diminimalisir dan tidak berkelanjutan.

Isi Kandungan :
Salah satu misi yang dibawa oleh rasul, sejak zaman nabi Adam hingga Muhammad adalah kesuksesan dan keberhasilan hidup bagi manusia di dunia hingga di akhirat. Puasa merupakan ibadah yang dapat melatih manusia untuk meraihnya. Semua utusan Allah mengajarkan syariat berpuasa. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan ajaran univesal Allah yang mengandung visi kesuksesan yang selalu diemban oleh semua Nabi.
Ibadah puasa memiliki dua dimensi yaitu dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik. Dimensi intrinsik yakni dimensi vertikal yang bersifat individual, sebagai kewajiban hamba terhadap Tuhannya. Dimensi ekstrinsik yakni dimensi horisontal yang bersifat sosiologis. Kedua dimensi itu bersifat integral dan komplementaris.  Seorang yang menjalankan ibadah puasa dengan benar, tidak hanya merasa telah menjalankan kewajiban saja tetapi ia akan dapat merealisasikan hikmah dan tujuan diwajibkannya berpuasa dalam sikap dan prilaku sosial dalam kehidupan sehari-hari.
            Dalam surat al-Baqarah 183 dijelaskan bahwa tujuan berpuasa adalah menjadi insan yang bertaqwa. Nilai-nilai takwa yang ada dalam ibadah puasa antara lain, Pertama : jujur.  Sikap ini berkaitan dengan ibadah puasa yang berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang bersifat lahiriah/kasat mata. Puasa bersifat batin dan personal, tidak ada yang tahu bahwa seseorang itu berpuasa, kecuali Allah dan pelakunya. Sifat ini yang akan melatih manusia untuk selalu menghindari perbuatan-perbuatan menyimpang seperti berbohong, korupsi, selingkuh dan lain-lain, yang merupakan cermin tidak adanya kejujuran, menganggap  Tuhan tidak pernah hadir dalam perbuatannya.
            Kedua : mengendalikan diri.  Pengendalian diri sangat diperlukan oleh semua manusia, baik secara individu maupun kelompok, baik kaya maupun miskin, pandai maupun bodoh. Setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri adalah berlawanan dengan akhlak mulia. Orang yang tidak dapat mengendalikan diri dan hanya mengikuti hawanafsunya adalah orang yang berkepribadian egois, hal ini menjadi titik tolak terjadinya degradasi moral. Akibat negatif dari tindakan tidak bisa menahan dan mengendalikan diri sudah terbukti sejak zaman Nabi Adam hingga sekarang. Dalam realitas sosial, kita banyak menjumpai prilaku-prilaku menyimpang, seperti ; kehamilan pranikah, maraknya miras dan obat-obatan, perkelaihan antar pelajar, teror, konflik antar agama dan lain-lain, semua itu terjadi akibat rendahnya kontrol dan pengendalian diri. Hilangnya fungsi kontrol pada diri manusia menyebabkan kecenderungan untuk selalu melakukan dosa, yang menghalangi “radar jiwa” manusia (hati) menjadi gelap dan tidak sensitif terhadap kebenaran.
           Ketiga: empatik dan solidaritas sosial. Puasa yang benar akan mendidik pelakunya untuk memiliki rasa empatik pada orang lain yang terlantar dan tertindas.  Rasa lapar dan dahaga yang dirasakan ketika berpuasa, diharapkan memberi inspirasi untuk ikut merasakan penderitaan orang-orang yang sedang kelaparan, berada dibawah garis kemiskinan, keterpurukan dan ketertindasan. Realisasi dari solidaritas sosial dalam berpuasa, tampak pada adanya pengganti dispensasi berupa fidyah dan juga kewajiban membayar zakat fitrah pada akhir Ramadhan serta bentuk-bentuk amal sadaqah lainnya. Dengan demikian, puasa tidak hanya sebagai etika individual tetapi juga etika sosial dan gerakan moral yang efektif dalam menanggulangi berbagai krisis seperti kemiskinan dan ketertinggalan yang dialami oleh sebagaian umat Islam.
           Keempat ; Berbaik sangka dan memiliki visi. Prasangka buruk merupakan bagian dari perbuatan zalim. Orang yang berburuk sangka mencerminkan pribadi kurang melakukan introspeksi. Nabi menganjurkan kepada semua manusia terutama yang sedang berpuasa agar banyak melakukan introspeksi, sebagaimana sabdanya :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan introspesi diri, maka akan diampuni dosanya yang lalu”.
Introspeksi diri diperlukan untuk merenungkan kembali hal-hal yang telah dilakukan selama kurun waktu tertentu, sehingga dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki dan mengembangkan potensi-potensi yang ada pada tiap-tiap individu, pada akhirnya akan membawa kepada kesempurnaan diri dan kesuksesan dalam hidup. Namun, untuk melakukan koreksi diri memerlukan sikap jujur, tulus dan rendah hati. Sikap tersebut sulit untuk dilakukan dan perlu pembiasaan diri. Dalam kehidupan sosial seseorang lebih senang melakukan penilaian terhadap orang lain dan lupa untuk menilai dirinya sendiri. Lemahnya koreksi diri, berakibat memandang dirinya sendiri lebih suci dari pada orang lain.
Salah satu visi yang ada dalam ibadah puasa adalah mengajarkan hidup optimis dan bersusah payah untuk meraih keberhasilan. Allah berjanji kepada orang yang berpuasa akan mendapat pahala yang besar, tak terukur, semangat untuk memerangi hawa nafsu, dan yakin akan meraih kemenangan di hari idul fitri, serta rela menderita dan menunda kesenangan duniawi, menyebabkan pelakunya memiliki optimisme yang tinggi dalam menatap masa depan pada kehidupan yang abadi.
Empat nilai-nilai taqwa yang ada dalam ibadah puasa dapat tercapai jika seseorang melakukannya dengan benar, jika tidak menjiwai perintah tersebut, maka puasa hanya memperoleh lapar dan dahaga saja.



Masmukhah, M.S.I


      Oleh : Masmukhah, M.S.I.

2 komentar: